Kebijakan Apoteker dan Realita Kekinian
Pelayanan kefarmasian saat ini telah memasuki babak dengan paradigma
baru yaitu asuhan kefarmasian ,dimana asuhan kefarmasian adalah penyediaan
pelayanan langsung dan bertanggung jawab dari Apoteker kepada pasien yang
berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud pencapaian hasil yang pasti dan
meningkatkan mutu kehidupan pasien. Sehingga paradigama masyarakat yang
menganggap bahwa apoteker adalah penjual obat kini tidak berlaku lagi karena
saat ini visi apoteker bukan lagi “DRUG ORIENTED” tetapi “PATIENT ORIENTED”
Diapotik, asuhan kefarmasian berarti
pasien harus dilayani oleh Apoteker untuk mendapatkan obat sesuai resep yang
dibawanya dan mendapatkan pula informasi yang diperlukan oleh pasien agar yang
bersangkutan mengetahui dengan tepat cara penggunaan obat serta informasi
lainnya. Dengan paradigma seperti diatas maka para Apoteker harus berada
diapotik untuk dapat melaksanakan tugas asuhan kefarmasian.
Dari gambaran di atas tampak jelas
pasien menghadap dokter, diperiksa dan mendapatkan resep setelah membayar,
kemudian resep tersebut dibawa oleh pasien ke apotik dan diterima oleh Apoteker
yang kemudian menyiapkan resep tersebut hingga selesai dan disampaikan pada
pasien sambil memberikan informasi kepada pasien. Setelah pasien membayar maka
yang bersangkutan meninggalkan apotik. Pada beberapa kejadian diperlukan
komunikasi antara Apoteker dengan dokter untuk mengkonsultasikan tentang resep
yang diterima oleh apotik guna menyelesaikan masalah tentang resep tersebut
bila ada. Praktik kefarmasian seperti ini harus dilakukan oleh Apoteker dan ini
berarti Apoteker harus berada ditempat dan tidak dapat digantikan oleh asisten
apoteker, apalagi oleh orang yang sama sekali tidak mengerti tentang obat.
Dilihat dari realitas sekarang, visi
apoteker yang begitu mulia tidak teraplikasi nyata di lapangan. Berbagai masalah
timbul, apotek di era “pharmaceutical care” saat ini tidak mengalami perbedaan
yang signifikan dibanding apotek di masa lalu. Semuanya terlihat sama-sama
saja. Apoteker di apotek hingga saat ini belum mampu mengaplikasikan “PATIENT
ORIENTED” secara tepat, tidak nampak pelayanan informasi obat maupun konseling
dan bahkan pengkajian resep dan dispensing kerap kali diacuhkan. Selain itu, banyaknya
pelayanan di apotek juga diambil alih oleh asisten appteker bahkan oleh
orang-orang yang tidak mempunyai latar pendidikan kefarmasian.
Ditambah lagi dengan masalah yang
termuat diberbagai media massa baru-baru ini yakni diduganya apotek melakukan
penjualan bebas obat-obat “daftar G” khususnya psikotropik dan narkotik, yaitu zat atau obat yang dapat
menurunkan aktifitas otak atau merangsang susunan saraf pusat dan mempengaruhi fungsi psikis. Hal ini
terjadi karena tidak adanya apoteker di apotek pada saat jam kerja. Tuntutan kerja seorang apoteker yang
harus ada di apotek juga kadang kala tidak berbanding lurus dengan finansial
yang apoteker peroleh. Banyak juga pemilik modal yang tidak ingin memberi gaji
apoteker sesuai dengan upah minimum yang telah ditetapkan. Namun, kita tidak
bisa memandang permalasahan ini secara subjektif, perlu dilakukan pengkajian
lebih mendalam untuk dapat menyelesaikan permasalahan saat ini.
Berdasarkan PP 51 tahun 2009 pasal 19,
Fasilitas pelayanan kefarmasian berupa
Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik,Toko Obat, atau
Praktek Bersama. Menurut PP 51 tahun
2009 pasal 1 dan Permenkes no 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan
Kefarmasian di Apotek, Apotek adalah
sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker.
Menurut PP 51 tahun 2009 pasal 1, toko
obat adalah sarana yang memiliki izin
untuk menyimpan obat-obat bebas dan obat-obat bebas terbatas untuk dijual
secara eceran.
Berdasarkan uraian diatas, sudah
sangat jelas aturan hukum yang mengatur pekerjaan kefarmasian. Hal ini
dipertegas kembali pada PP 51 pasal 51, pelayanan
kefarmasian di apotek, puskesmas, atau instalasi farmasi rumah sakit hanya
dapat dilakukan oleh apoteker dan pasal 64 UU no. 36 tahun 2014, setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan
dilarang melakukan praktik seolah-olah sebagai tenaga kesehatan yang memiliki
izin.
Menurut PP 51 pasal 25, Dalam hal apoteker yang mendirikan apotek
bekerjasama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap
dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan. Pasal 20, Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian,
Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau tenaga teknis
kefarmasian. Pasal 24 point a, Dalam
melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker
dapat mengangkat seorang appteker pendamping yang memiliki SIPA. Dan pasal
21 ayat 2, Penyerahan dan pelayanan obat
berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker.
Berdasarkan UU no. 36 tahun 2014 pasal
83, Setiap orang yang bukan Tenaga
Kesehatan melakukan praktik seolah-olah sebagai Tenaga Kesehatan yang telah
memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun. Menurut PP 51 pasal 58 dan Permenkes
no. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, “Mentri, Pemerintah Daerah Provinsi,
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya serta Organisasi Profesi
membina dan mengawasi pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian.
Kalau kita melihat di lapangan saat
ini, masih banyak yang tidak berjalan sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku. Oleh karena itu, perlu adanya sikap tegas dari IAI dan pemerintah untuk
menyelesaikan permasalahan saat ini. Pemerintah dan anggota DPRD perlu
merancang sebuah peraturan yang mengatur lebih jauh tentang pelayanan
kefarmasian dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), sehingga apoteker, masyarakat
selaku penerima layanan kefarmasian serta pemilik modal dapat terwadahi secara
keseluruhan.
Salam Farmasi ! Hidup Mahasiswa!
0 komentar:
Posting Komentar