Minggu, 05 Juli 2015

Kebijakan Apoteker dan Realita Kekinian



Kebijakan Apoteker dan Realita Kekinian
Pelayanan kefarmasian saat ini telah memasuki babak dengan paradigma baru yaitu asuhan kefarmasian ,dimana asuhan kefarmasian adalah penyediaan pelayanan langsung dan bertanggung jawab dari Apoteker kepada pasien yang berkaitan dengan sediaan farmasi dengan maksud pencapaian hasil yang pasti dan meningkatkan mutu kehidupan pasien. Sehingga paradigama masyarakat yang menganggap bahwa apoteker adalah penjual obat kini tidak berlaku lagi karena saat ini visi apoteker bukan lagi “DRUG ORIENTED” tetapi “PATIENT ORIENTED”
Diapotik, asuhan kefarmasian berarti pasien harus dilayani oleh Apoteker untuk mendapatkan obat sesuai resep yang dibawanya dan mendapatkan pula informasi yang diperlukan oleh pasien agar yang bersangkutan mengetahui dengan tepat cara penggunaan obat serta informasi lainnya. Dengan paradigma seperti diatas maka para Apoteker harus berada diapotik untuk dapat melaksanakan tugas asuhan kefarmasian.
Dari gambaran di atas tampak jelas pasien menghadap dokter, diperiksa dan mendapatkan resep setelah membayar, kemudian resep tersebut dibawa oleh pasien ke apotik dan diterima oleh Apoteker yang kemudian menyiapkan resep tersebut hingga selesai dan disampaikan pada pasien sambil memberikan informasi kepada pasien. Setelah pasien membayar maka yang bersangkutan meninggalkan apotik. Pada beberapa kejadian diperlukan komunikasi antara Apoteker dengan dokter untuk mengkonsultasikan tentang resep yang diterima oleh apotik guna menyelesaikan masalah tentang resep tersebut bila ada. Praktik kefarmasian seperti ini harus dilakukan oleh Apoteker dan ini berarti Apoteker harus berada ditempat dan tidak dapat digantikan oleh asisten apoteker, apalagi oleh orang yang sama sekali tidak mengerti tentang obat.
Dilihat dari realitas sekarang, visi apoteker yang begitu mulia tidak teraplikasi nyata di lapangan. Berbagai masalah timbul, apotek di era “pharmaceutical care” saat ini tidak mengalami perbedaan yang signifikan dibanding apotek di masa lalu. Semuanya terlihat sama-sama saja. Apoteker di apotek hingga saat ini belum mampu mengaplikasikan “PATIENT ORIENTED” secara tepat, tidak nampak pelayanan informasi obat maupun konseling dan bahkan pengkajian resep dan dispensing kerap kali diacuhkan. Selain itu, banyaknya pelayanan di apotek juga diambil alih oleh asisten appteker bahkan oleh orang-orang yang tidak mempunyai latar pendidikan kefarmasian.
Ditambah lagi dengan masalah yang termuat diberbagai media massa baru-baru ini yakni diduganya apotek melakukan penjualan bebas obat-obat “daftar G” khususnya psikotropik dan narkotik, yaitu zat atau obat yang dapat menurunkan aktifitas otak atau merangsang susunan saraf  pusat dan mempengaruhi fungsi psikis. Hal ini terjadi karena tidak adanya apoteker di apotek pada saat jam kerja. Tuntutan kerja seorang apoteker yang harus ada di apotek juga kadang kala tidak berbanding lurus dengan finansial yang apoteker peroleh. Banyak juga pemilik modal yang tidak ingin memberi gaji apoteker sesuai dengan upah minimum yang telah ditetapkan. Namun, kita tidak bisa memandang permalasahan ini secara subjektif, perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam untuk dapat menyelesaikan permasalahan saat ini.
Berdasarkan PP 51 tahun 2009 pasal 19, Fasilitas pelayanan kefarmasian berupa Apotek, Instalasi Farmasi Rumah Sakit, Puskesmas, Klinik,Toko Obat, atau Praktek Bersama.  Menurut PP 51 tahun 2009 pasal 1 dan Permenkes no 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh apoteker. Menurut PP 51 tahun 2009 pasal 1, toko obat adalah sarana yang memiliki izin untuk menyimpan obat-obat bebas dan obat-obat bebas terbatas untuk dijual secara eceran.
Berdasarkan uraian diatas, sudah sangat jelas aturan hukum yang mengatur pekerjaan kefarmasian. Hal ini dipertegas kembali pada PP 51 pasal 51, pelayanan kefarmasian di apotek, puskesmas, atau instalasi farmasi rumah sakit hanya dapat dilakukan oleh apoteker dan pasal 64 UU no. 36 tahun 2014, setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan dilarang melakukan praktik seolah-olah sebagai tenaga kesehatan yang memiliki izin.
Menurut PP 51 pasal 25, Dalam hal apoteker yang mendirikan apotek bekerjasama dengan pemilik modal maka pekerjaan kefarmasian harus tetap dilakukan sepenuhnya oleh Apoteker yang bersangkutan. Pasal 20, Dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, Apoteker dapat dibantu oleh Apoteker pendamping dan/atau tenaga teknis kefarmasian. Pasal 24 point a, Dalam melakukan Pekerjaan Kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, Apoteker dapat mengangkat seorang appteker pendamping yang memiliki SIPA. Dan pasal 21 ayat 2, Penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker.
Berdasarkan UU no. 36 tahun 2014 pasal 83, Setiap orang yang bukan Tenaga Kesehatan melakukan praktik seolah-olah sebagai Tenaga Kesehatan yang telah memiliki izin sebagaimana dimaksud dalam pasal 64 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Menurut PP 51 pasal 58 dan Permenkes no. 35 tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, “Mentri, Pemerintah Daerah Provinsi, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai kewenangannya serta Organisasi Profesi membina dan mengawasi pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian.
Kalau kita melihat di lapangan saat ini, masih banyak yang tidak berjalan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, perlu adanya sikap tegas dari IAI dan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan saat ini. Pemerintah dan anggota DPRD perlu merancang sebuah peraturan yang mengatur lebih jauh tentang pelayanan kefarmasian dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda), sehingga apoteker, masyarakat selaku penerima layanan kefarmasian serta pemilik modal dapat terwadahi secara keseluruhan.
Salam Farmasi ! Hidup Mahasiswa!

0 komentar:

Posting Komentar